Alay Adalah Fase, Bukan Zaman
Hiyaaaaat…
Dari sekian banyak draft yang sudah dibuat, nampaknya
tulisan ini yang akan terlebih dahulu ditampilkan, meskipun dibuat paling
terakhir. Hal ini disebabkan karena mengamati status fesbuk sendiri dari tahun
ke tahun berkat bantuan pemberitahuan fesbuk.
Karena saat ini saya tdak berada di kehidupan bermasyarakat,
lah. Iya, maksudnya saya hidup di ruang yang terbatas, terbatas ukurannya, eh.
Maksudnya saya hidup kost yang nomaden selama kurang lebih delapan tahun
terakhir, jadi saya hanya berinteraksi dengan teman sebaya, atau paling mentok dengan pemilik kost. Sangat
jarang punya interaksi dengan para remaja kalangan SMP hingga awal SMA. Ada sih
interaksi, paling setengah tahun sekali dengan sepupu, tapi Cuma berapa hari
saja dan nggak intense.
Hingga akhir tahun kemarin saya kembali merasakan
berinteraksi dan punya cara dengan remaja (SMP), setelah sekian lama
meninggalkan aktivitas itu. Rasanya bahagia punya “kanvas” yang siap menerima
energi positif saya pada saat itu. Mungkin tentang detail acaranya bisa saya
ceritakan terpisah nanti. Dampak dari acara itu ya mereka minta nomor hape dan
akun sosial media. Oke, mungkin media ter-aman adalah fesbuk karena saya tak
pernah menggalau atau melempar kode di sana. Tak lama setelah itu, mereka mulai
mengirimkan permintaan pertemanan. Awalnya nggak
notice sama sekali kalau mereka adalah remaja-remaja tersebut, saya abaikan
saja.
Akhirnya pada suatu hari saya buka opsi permintaan
pertemanan dan bertanya-tanya “Kenapa beberapa orang yang memiliki coretan
abstrak di fotonya menambahkan saya secara hampir bersamaan?” Karena gampang
penasaran, saya pun kepo. Saya buka
profil salah satu dari mereka, namanya masih aman, Cuma di belakang nama ada
tambahan romawi, mungkin akun pertamanya udah gabisa di tambahkan lagi. Okedeh,
pada kolom deskripsi diri tertulis hamba Allah, masyaAllah ya 😊. Tapi gacuma itu aja, aja juga nama sesorang
disertai simbol cinta, aish. Terus kemudian menyadari kalo dia adalah remaja
yang saya aajar beberapa waktu lalu dari sekolahnya. Permintaan pertemanan
remaja dengan foto profil yang dicoret pun aku terima tanpa kecuali.
Hari-hari berikutnya mulai mengamati tanpa sengaja aktivitas
mereka, lebih tepatnya status-status mereka di fesbuk. Jadilah fesbuk ini
tempat observasi, bukan hanya tempat buka grup IELTS bagi saya. Statusnya ya
begitulah…..kalian pasti paham lah yaaa. Soalnya kalian juga pernah
mengalaminya, termasuk saya.
Yap, awalnya saya pikir alay adalah suatu zaman, yaa sekitar
tahun 2008-2010. Ditandai dengan penulisan huruf kapital yang tidak pada
tempatnya, haha. Kalian paham kan maksud saya? Dan tentunya spam hal yang tidak
faedah dan langsung, atau frontal. Iya, saya juga mengalami hal yang sama pada
saat itu. Nulis di fesbuk kalo pengen dikasih cokelat, ya emang keesokannya ada
yang ngasih sih.
Pengingat fesbuk juga menyadarkan saya betapa alay-nya saya
pada saat itu. Bahkan segala status jaman awal SMA yang kalo dibaca bikin mata
perih, haha. Tapi yang membuat saya bersyukur adalah pas jaman alay itu nggak
disertai dengan cinta monyet, alias gamau punya pacar, kalo inceran mah ada lah
ya, tsaaaah. Coba kalo udah punya pacar pasti ada aja status “Selamat pagi
kamu…..” terus nama doi ditandai. Itu pasti bakal bikin makin menjijikan kalau
diliat. Soalnya sekarang saya ngeliat remaja-remaja tersebut dengan hal yang
sama.
“Saya pikir setelah saya
menyelesaikan masa alay itu, semua orang juga sudah meninggalkan kejahiliyahan
itu. Ternyata saya salah, itu adalah sebuah fase, dan saat saya serta teman
sebaya saya meninggalkan fase tersebut, terdapat orang-orang lain yang masuk ke
dalamnya”
Jadi sampai sekarang, esok, dan seterusnya anak alay akan
terus ada. Mungkin transformasinya akan berbeda dalam tiap waktunya karena hal
ini juga didukung dan disesuaikan dengan lingkungan dan kemajuan teknologi.
Mungkin jaman dulu alay adalah foto pakai kodak dengan bibir dimaju-majuin
sambil jari telunjuknya ditaroh di depan bibir. Sekaran jadi swa-foto dengan
badan berkelok-kelok dan rok ketat minta ampun.
Kemudian saya belajar, nanti kalau saya punya anak, mereka
pasti akan memasuki fase yang sama, hanya saja ada yang parah dan ada yang ikut
keruntuhan saja. Jadi nanti harus diatasi bagaimana metode yang ampuh untuk
mengurangi intensitas alay pada masa remajanya. Agar nanti mereka tidak seperti
saya, sang (calon) ibundanya (di masa depan).
Alay adalah fase yang (mungkin) wajib dilewati setiap remaja untuk
menuju dewasa. Jangan menuding dan menyudutkan, karena kita juga pernah
melakukan hal yang sama
Komentar
Posting Komentar