Bolehkah kita bertemu lagi?



Bagaimana rasanya bermimpi bertemu seseorang yang telah meninggalkan dunia ini, padahal saat hidup pun aku tak pernah menemuinya, bahkan mengenalnya pun tidak.

Rasanya malam ini menjadi mimpi terpanjang dengan kalimat terpanjang dan juga pelajaran hidup yang membuat sabarku akan lebih luas. Awalnya aku sungguh hanya melihatnya sebagai seorang lelaki berusia sekitar 60 tahun dengan gurat muka yang nampak jelas, namun aku melihat satu hal di ujung matanya, ya keteduhan. Dari mata itu pula yang meyakinkanku bahwa sebenarnya aku pernah menemui keteduhan mata yang sama. Bukan dari ayahku ataupun dari kakakku, teduhnya sama sekali seperti sesorang yang sama akhir-akhir ini. Hingga akhirnya aku menurunkan mataku untuk melihat dirinya seutuhnya dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Sang Bapak hanya tersenyum dan berjalan pelan menuju arahku. Semakin berjalan, semakin aku yakin bahwa aku mengetahui siapa Bapak ini. Ia semakin dekat dan senyumnya semakin lebar. Aku hanya terpaku dalam raga yang tak kokoh, aku sedikit gugup tapi tak kuasa untuk mengubah posisiku.

Kini ia mengusap kepalaku, tangannya lembab namun tetap hangat, meskipun tak halus seperti tangan ayahku. Bibirnya mulai bergerak dan tersenyum sangat lebar seakan telah mengenalku sebelumnya.

“Duduklah Nak, tak usah takut. Aku memang belum pernah kau temui, tapi kamu telah banyak mengenalku terutama akhir-akhir ini. Nampaknya kamu juga telah mengetahui bagaimana sifatku dan bagaimana cerita selama aku masih satu dunia bersamamu. Meskipun ada beberapa yang rumpang,” tuturnya sambil menepuk pundakku.

Aku gugup namun mataku tak bergerak memandang matanya. “Apa aku mengenal Bapak?”

“Rasanya itu sudah aku katakan, Nak. Kamu telah banyak mengenalku meskipun kamu tak pernah menemuiku sebelumnya,” jawabnya sambil menatap mataku lekat-lekat

Aku makin berdebar-debar dan mulutku terkunci rapat-rapat. Ia mulai melepaskan tangannya dari pundakku dan mengganti posisi duduknya lebih dekat menghadapku.

“Lima tahun ini rasanya berlalu begitu cepat ya dan aku tak merasa meninggalkan mereka dalam waktu lima tahun. Sebenarnya masih banyak hal yang harus kulakukan, tapi kita tak bisa menentang takdir Tuhan bukan?”

Sungguh aku tak mengerti siapa sebenarnya yang dikatakan Bapak ini Aku tak mengerti definisi mereka dalam kalimatnya, terlebih kenapa ia mengungkapkan rentang waktu lima tahun? Ada apa dengannya lima tahun lalu? Namun aku masih berusaha untuk mendengarkan apa yang akan dikatakan Bapak ini tanpa memberikan respon apapun.

“Salah satu hal yang sebenarnya ingin kulakukan adalah bertemu denganmu, padahal kamu pernah mengunjungi rumah terakhirku beberapa tahun lalu. Tapi tak apa, setidaknya kita bisa bertemu disini,”

Ia menarik nafas panjang, terlihat pula pergerakan di perutnya yang sedikit buncit di balik baju bergaris horizontal yang ia kenakan.

“Pertama aku ingin mengucapkan terima kasih telah datang dalam keluargaku, meskipun aku tak tahu bagaimana kedepannya. Terima kasih telah menerima mereka seperti keluargamu. Bahagia rasanya melihatmu menemani sulungku selama ini. Jika saja dia pernah bercerita padaku bahwa kamu adalah orangnya, maka aku akan dengan suka hati mengijinkannya,”

Aku mulai tahu arah percakapan ini dan nampaknya aku mulai “mengenal” siapa laki-laki yang ada di hadapanku ini.

“Nak, hatimu tulus sekali dan pemaaf. Aku melihatnya jelas sekali, meskipun kadang kamu tak bisa mengendalikan emosimu. Aku paham, untuk anak bungsu kadang memang sulit untuk tetap tenang dalam kondisi terdesak. Tapi tak apa, kamu sudah banyak berlatih sabar. Kamu perlu melatihnya tanpa lelah hingga kesabaran itu tak berbatas karena sesungguhnya yang membatasi kesabaran itu manusia sendiri,”

Aku menelan ludah dan masih asik mengunci mulut. Aku sibuk mencerna segala perkataan Bapak ini tanpa tersisa satu kata pun terlepas dari otak dan memoriku.

“Barangkali ada hal yang harus kamu tahu bahwa sulungku adalah kesayangan ibunya. Aku yakin ibunya tak akan mudah melepaskan putranya untuk cepat-cepat meminang wanitanya. Oleh karena itu kamu hanya perlu bersabar. Mungkin kamu bisa melatih sabar dengannya karena dia bukan orang yang terlampau sabar. Tapi aku tahu bahwa dia mencintaimu,”

Aku tercekat, dan tenggorokanku terasa sesak. Pipiku mulai memerah, merona, dan basah. Hal yang sama juga terjadi di mataku. Aku rasanya ingin menangis sejadi-jadinya. Tapi Bapak itu tertawa geli melihatku

“Tidak usah menangis, Nak. Aku tidak bermaksud mengataimu tidak sabar, tapi aku menasehatimu. Hahaha…Kamu memang cengeng ya. Tak apa menangislah, meskipun sebenarnya menangis tak akan menyelesaikan masalah dan kadang tidak perlu,”

“Apa yang perlu kamu lakukan sekarang adalah sabar. Masalah memang kadang datang, pun godaan dan cobaan. Hal itu menunjukkan bahwa kita adalah manusia. Jangan menyerah dengan apa yang ada saat ini ya, Nak. Aku percaya kamu akan sabar hingga saatnya nanti datang,”
“Aku bahagia sulungku dapat bertemu dengan seorang yang mau mengalah seperti kamu dan bertahan hingga waktu sejauh ini. Tetap sabar ya Nak, hingga kalian berada pada fase yang siap dan saling mengerti,”

“Ada yang mau kamu katakan, Nak?” tanya Bapak sembari menepuk-nepuk bahuku.

Aku hanya menggeleng dan tak berani menatap matanya. Rasanya aku malu jika sesungguhnya aku masih perlu banyak sekali belajar, namun kadang aku merasa sudah siap. Aku malu dan tetap menggeleng sambil melihat tanah di bawahku. Tanpa aku sadari Bapak itu telah pergi. Aku menangis sejadi-jadinya karena aku baru menyadari siapa Bapak ini sebenarnya.

Aku tahu alasannya mengapa Bapak benar-benar dicintai oleh keluarganya. Selain matanya yang teduh, kata-katanya juga tidak kalah menyejukkan. Bahkan pipiku ikut lembab karena dihujani air dari mataku. Sekarang aku sadar, dia adalah laik-laki yang telah kebal dengan segala kehilangan. Jika ditinggalkan orang sebijak ini dan seberharga ini untuk selamanya saja dia bisa kuat dan tegar. Maka kehilanganku tentu bukan jadi masalah bukan?

Tapi yang perlu kulakukan adalah bersabar, sama seperti yang Bapak katakan, aku harus sabar. Aku yakin apa yang ditakdirkan untukku pasti akan aku miliki, sedangkan yang bukan tidak akan jadi milikku.

Bapak, bolehkah kita bertemu lagi?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bulan Ketujuh di Beijing

Hujan

Menjadi Diri Sendiri