Definisi Bahagia



Menginjak usia yang hampir seperempat abad,


Entah kenapa ada sesuatu yang berbeda menginjak usia ini, selain karena perbedaan status yang bukan lagi mahasiswa dan lingkungan yang amat berubah akhir-akhir ini. Rasanya banyak hal yang perlu aku tuliskan, meski tak bisa semuanya. Karena tak semua orang memiliki kisah hidup yang sama, sehingga terkadang membagikan hal yang menurut kita baik terkadang akan ditangkap sebaliknya bagi yang kurang sepaham. Padahal sebagian yang lain menunggu cerita untuk dituliskan. Yap, please all and you’ll please none. I’ll write it because I want, bukan karena pengalaman ini tidak pernah dialami yang lain ataupun bukan karena ini adalah hal hebat yang harus dituliskan.

Bagiku bertambah dewasa haruslah lebih bijak dalam melakukan dan memutuskan segala sesuatu. Segalanya harus matang. Sebagai orang yang mempunyai target selangit, tentu saja bahagia sejak dulu adalah mencapai suatu target. Alhamdulillah, selama ini Allah selalu membersamai doaku dan mengabulkannya entah cepat atau lambat. Tapi, sejujurnya menjadi orang yang bertarget itu melelahkan, kerap kali merasa lelah dikejar target dan stres berat melanda jika deadline (re: waktu yang ditarget) makin dekat, sulit tidur, kepala pusing, makan nggak enak. Bukan hanya disitu, kadang kalau gagal, beuuuh sakitnya. Ya tapi hal yang harus digaris bawahi adalah saat kamu merasa sakit berarti saya belum tawakal sepenuhnya kepada Allah, setan memang selalu muncul di hati manusia, termasuk saya. Padahal Allah sudah jelas dan selalu menjawab doa dengan tiga cara bukan?

Setahun lalu saya belajar, banyak-banyak belajar. Bahwa kita hanyalah pemimpi, pengikhtiar, dan sepenuhnya ada di tangan Allah. Banyak hal yang rasanya sudah sangat dekat dengan rencana, bahkan rasanya semuanya sudah tiba, datang sesuai target. Namun Allah adalah penentu segalanya. Jika memang belum waktunya, maka semuanya juga tak akan terjadi. Rencana “terbang”ku tahun 2017 juga kandas. Tapi bukan aku namanya kalau hanya diam merenungi kenyataan. Aku mencoba untuk terus dan terus bergerak, karena beberapa hal telah terlanjur untuk dikorbankan. Tekad juga sudah bulat dan semangat meraih mimpi semakin berapi-api. Aku paham segalanya harus dimulai dari nol, namun aku percaya semua akan segera
berubah dan bergerak.

Kemudian predikat “luntang-lantung” datang. Pengangguran, beban negara dan tak punya penghasilan. Tabungan pun tak seberapa itu pun makin menipis karena harus mempersiapkan ini itu. Sekali lagi saya yakin bahwa rezeki adalah kepunyaan Allah, kita hanya bisa berusaha untuk mengatur segalanya. Pun rezeki juga Allah yang memberikannya. Ada saja segala macam pekerjaan untuk pengangguran ini. Meskipun kemungkinan depresi tentu saja selalu meningkat.

Terlepas dari semuanya, Allah juga memberikan pendukung tiada batas untuk saya. Keluarga yang mendukung dan menerima setiap keputusan yang tak terduga dan diluar batas pemikiran orang-orang. Tentu saja saya juga bersyukur memiliki seseorang yang selalu percaya dan tak memiliki keraguan bahwa saya akan melewati semuanya dengan baik. Dear you, I am so lucky to have you as mine. Karena tanpa dukungan mereka saya bisa saja merasakan frustasi dengan keputusan yang awalnya salah.

Dari semua proses yang penuh tantangan ini, saya merasa sangat bersyukur.

“Nyatanya, bahagia itu bukan tentang banyaknya uang yang kita punya, bukan seberapa tinggi jabatan yang kita miliki, bukan pula seberapa banyak teman yang menyertai. Tapi bahagia adalah hasil dari menerima apapun yang kita miliki. Selagi kita punya tempat berteduh, makanan untuk dimakan, dan orang-orang yang penuh cinta, kita adalah orang terbahagia”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bulan Ketujuh di Beijing

Hujan

Menjadi Diri Sendiri